Kamis, 24 Mei 2012


Surabaya Kelebihan Penduduk 800 Ribu Orang


Setiap hari rata-rata 30 orang pendatang baru mengambil blangko Surat Pindah.


”Cuma untuk mengantisipasi persoalan sosial ditimbulkan kaum urbanisasi yang gagal mengadu nasib, kami telah meminta bantuan RT/RW guna mendata warganya. Bagi warga pendatang yang tidak memiliki tujuan

diminta pulang,” katanya.SURABAYA Urbanisasi menjadi penyakit tahunan, terutama pasca Lebaran, yang diderita kota-kota besar termasuk Surabaya. Akibatnya, menurut Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dispendukcapil) Surabaya, kini kota Pahlawan obesitas alias kelebihan penduduk hingga 800 ribu jiwa dari standar idealnya. Menurut Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Surabaya, Kartika Indrayana, idealnya jumlah penduduk di kota ini 75 orang per hektar. Namun kenyataan di lapangan saat ini volume penduduk Surabaya sudah mencapai 87 orang per hektar. “Tahun ini misalnya, jumlah penduduk Surabaya telah mencapai sekitar 2,9 juta jiwa dengan luas kota sekitar 29.000 ha. Jumlah penduduk itu sudah over capasity karena ideal penduduk Surabaya hanya 2,1 juta jiwa,” ujarnya. Dengan kata lain, bila jumlah penduduk dikurangi jumlah ideal, Surabaya kelebihan 800 ribu jiwa di 2010 ini. Diakuinya Pemkot sulit menangkal arus urbanisasi, sehingga tahun ini pun arus urban ke Surabaya masih cenderung naik. Indikatornya, setiap hari rata-rata 30 orang pendatang baru mengambil blangko Surat Pindah Menjadi Penduduk (SPMP) ke Dispendukcapil  Kota Surabaya. Angka itu belum  termasuk mereka yang mengurus Surat Keterangan Tinggal Sementara (SKTS) yang mencapai 10 blangko per hari. “Permintaan SPMP dan SKTS ini terus berlangsung sampai sekarang. Alasan macam-macam, ada yang beralasan bekerja di Surabaya, ada pula karena mengikuti suami dan kuliah,” ujarnya. Kesulitan mencegah banjirnya kaum urban ke Surabaya salah satunya karena banyak sekali pintu masuk kota ini. Bisa melalui pintu bandara Juanda, terminal Bungurasih, Pelabuhan Dermaga Tanjung Perak Surabaya maupun jalan darat lain. Menurut catatannya, tahun lalu arus urban mencapai sekitar 30 ribu jiwa. Ini berdasarkan jumlah penduduk pada 2009 mencapai 2.938.225, selanjutnya tahun ini (2010) meningkat menjadi 2.968.946 jiwa. Meski dinilai tak efektif, tapi Pemkot tetap akan meminimalisasi dan mengantisipasi persoalan sosial yang timbul karena dampak kegagalan urban mengubah nasibnya di kota. Misalnya, secara dini melakukan pendataan penduduk baru hingga ke tingkat Kecamatan, Kelurahan dan RT/RW. Jika menemukan penduduk baru yang tidak memiliki kejelasan tujuan dan tempat tinggal akan dikembalikan ke daerah asalnya. “Sistem kontrol di beberapa tempat umum, seperti terminal, pelabuhan, dan stasiun sudah tidak efektif karena hanya berdasarkan sampel. Setelah Lebaran, kami akan meninjau pertambahan jumlah penduduk baru ke kecamatan, kelurahan, desa, dan RT/RW,” ujarnya. Selain itu, pihaknya akan gencar melakukan Operasi Yustisi dengan sasaran beberapa kecamatan berpenduduk padat, seperti Kecamatan Sawahan, Tambaksari, Rungkut, dan Wonokromo. Dalam operasi ini, warga yang terbukti tidak memiliki tujuan, kemampuan, pekerjaan, dan tempat tinggal akan dipulangkan. “Kota Surabaya sebenarnya tidak tertutup untuk umum, khususnya bagi mereka yang memiliki tujuan jelas. Tetapi, para pendatang yang tidak punya arah jelas justru akan menjadi beban bagi warga yang ada,” katanya. Hal senada dikatakan Irvan Widyanto, Camat Rungkut. Dia mengatakan, perpindahan penduduk dari daerah lain ke Surabaya tidak bisa dilarang. Seperti warga  pada umumnya, mereka mempunyai hak kebebasan pergi ke mana pun selama tidak melanggar hukum. Bahkan tahun ini, Pemkot Surabaya tidak mengeluarkan kebijakan apa pun untuk melarang warga pendatang masuk ke Surabaya sesudah Lebaran. Hanya saja, mereka yang mengadu nasib ke Surabaya harus memenuhi syarat sesuai diatur Perda No.2 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Data Penduduk dan Dispendukcapil. Salah satu syaratnya adalah adanya  jaminan pekerjaan dan jaminan tempat tinggal di Kota Surabaya

Bebani Kota
Pengamat kependudukan Unair Surabaya, IB Wirawan mengatakan, daya dukung lingkungan dipastikan akan dirugikan untuk pertama kalinya jika pertumbuhan kedatangan penduduk tidak dapat dikendalikan. Berjubelnya pendatang yang tidak berketerampilan menambah beratnya beban yang harus dipanggul kota ini. "Pemkot tidak akan pernah bisa menyiapkan kebutuhan dasar seperti perumahan dan lain-lain," kata. Akibat kurang siapnya fasilitas perumahan, akhirnya banyak warga pendatang yang hidup kurang layak di bantaran sungai atau pinggir rel kereta api yang kualitas penunjang hidup seperti air bersih dan sanitasinya kurang maksimal.
Sedangkan secara ekomoni, dikatakan Wirawan sebenarnya Surabaya masih sanggup menampung, tapi pendatang yang masuk ke Surabaya tidak memiliki keterampilan dan keahlian yang cukup untuk masuk ke dunia kerja. Dari data Dinas Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil Kota Surabaya, di tahun 2005 penduduk yang masuk ke Surabaya sebesar 32.386, di 2006 naik menjadi 32.912 dan di 2007 sedikit menurun menjadi 32.685 dan 2009 langsung melonjak hingga 50.300 orang. Angka tersebut diyakini Wirawan tidak mencerminkan kondisi sebenarnya. ”Yang terjadi di lapangan dipastikan jauh lebih besar bahkan dua kali lipat dibandingkan angka itu.” ujarnya. Sebagai filter awal peran RT/RW harus lebih dimaksimalkan lagi. Harus ada punishment dan reward kepada mereka dalam menertibkan pendatang baru di lingkungan mereka. "Jadi mereka harus aktif memantau lingkungannya. Kalau ada pendatang yang sudah 6 bulan tidak mendapatkan pekerjaan harus segera dilaporkan. Bahkan bisa jadi dipulangkan," tutur Wirawan. Menurut pengamatan Surabaya Post, memang banyak warga urban yang telah sukses di Surabaya mengajak kerabat-saudara saat kembali dari mudik Lebaran. Munif (40) warga Rungkut, adalah satu satu urban asal Tuban yang datang ke Surabaya sejak 1995. Ketika mudik Lebaran, dia membawa serta seorang lelaki dan dua wanita berusia rata-rata 18 tahun. ”Yang lelaki itu adik saya. Rencananya dia mau ikut berjualan nasi bebek goreng di sini. Ya, daripada di desa menganggur setelah lulus SMA,” ujarnya. Sedangkan dua wanita itu, lanjut Munif, juga masih ada hubungan kerabat dekat. Mereka  ikut ke Surabaya untuk mengadu nasib, diharapkan bisa pekerja di perusahaan di kawasan Rungkut. Diakuinya, dua wanita remaja yang baru lulus SMA itu sebelum mendapatkan pekerjaan.”Sebelum mereka dapat pekerjaan, biarlah mereka membantu istri berjualan nasi bebek” ujarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar